Oleh: Adian Husaini*)
Sejak akhir 2008 hingga 20 Januari 2009, umat manusia mendapat pelajaran yang sangat berharga. Milyaran pasang mata di seluruh dunia berkesempatan menyaksikan sebuah drama pembantaian manusia oleh pasukan Zionis Israel. Jet-jet tempur Israel, disokong tank-tank, kapal laut serta pasukan darat, dengan semena-mena membunuhi penduduk Gaza. Wanita dan anak-anak pun tak terkecuali. Raungan dan jerit tangis anak-anak Gaza yang ditayangkan berbagai stasiun TV internasional tak mampu menghentikan hasrat kaum Zionis dalam menumpahkan darah warga Palestina.
Sejak akhir 2008 hingga 20 Januari 2009, umat manusia mendapat pelajaran yang sangat berharga. Milyaran pasang mata di seluruh dunia berkesempatan menyaksikan sebuah drama pembantaian manusia oleh pasukan Zionis Israel. Jet-jet tempur Israel, disokong tank-tank, kapal laut serta pasukan darat, dengan semena-mena membunuhi penduduk Gaza. Wanita dan anak-anak pun tak terkecuali. Raungan dan jerit tangis anak-anak Gaza yang ditayangkan berbagai stasiun TV internasional tak mampu menghentikan hasrat kaum Zionis dalam menumpahkan darah warga Palestina.
Dunia pun berteriak. Dewan Keamanan PBB, Dewan HAM PBB, dan berbagai komunitas internasional – Muslim dan non-Muslim – mengutuk tindakan Israel. Namun, seperti biasa, Israel tidak peduli dengan semua bentuk imbauan dan ”tekanan di atas kertas”. Bahkan, sejumlah aksi kebiadaban yang di luar peri kemanusiaan pun dilakukan. Seorang dokter di Gaza, Abu Aukal, misalnya, menceritakan kisah memilukan yang menimpa Shahd (4 tahun). Tubuh anak ini terkoyak-koyak akibat dimakan oleh anjing (milik) Zionis Yahudi. Puluhan jenazah wanita dan anak-anak Palestina korban kebiadaban kaum Zionis sudah ia tangani. Tapi, kondisi jenazah Shahd sungguh mengerikan. Menurut saksi mata, tubuh anak itu dibiarkan selama bebarapa hari menjadi santapan anjing-anjing bawaan tentara Yahudi Israel. Keluarga tak sanggup mengambilnya, karena ditembaki oleh tentara Israel begitu berusaha mendekati jenazah sang bocah. (Republika, 15/1/2009).
Tentu saja kebiadaban semacam ini sudah tersiar ke seluruh penjuru dunia. PBB sudah mengecam kebiadaban Israel. Umat manusia yang waras dan masih mempunyai hati nurani pun pasti tersengat hatinya menyaksikan kebiadaban Israel, yang tiap hari membantai penduduk Gaza. Dalih Israel bahwa serangannya untuk mempertahankan diri tidak dapat diterima akal sehat. Dewan HAM PBB memutuskan bahwa Israel telah melakukan pelanggaran HAM massal terhadap warga Palestina.
Presiden Majelis Umum PBB, Miguel d’Escoto Brockmann, di Markas PBB (14/1/2009) menyatakan, PBB bertanggung jawab terhadap kejadian di Timur Tengah. Karena PBB-lah (melalui resolusi 181 tahun 1947) yang memberi jalan terbentuknya negara Israel, dengan mengusir penduduk Palestina. ”Warga Palestina telah diperlakukan tidak manusiawi beberapa dekade terakhir, dan [agresi Israel] akan membuatnya menjadi lebih buruk,” ujarnya. Dunia sebenarnya sudah lama tahu tabiat kaum Zionis ini. Seperti biasa, Israel tidak mempedulikan semua bentuk kecaman, seruan, kutukan, atau resolusi PBB. Bahkan, PM Israel Ehut Olmert berkata dengan ketus pada PBB, ”Pikirkan urusanmu sendiri.” (Republika, 15/1/2009).
Sejak merampas tanah Palestina dan mendirikan negara Yahudi, 14 Mei 1948, kaum Zionis Israel ini tak henti-hentinya menebar teror dan kekejaman. Pada 10 November 1975, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 (xxx) yang menyatakan: "Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial." Tahun 1955, Indonesia memelopori Konferensi Asia-Afrika, yang salah satu jiwa pokoknya jiwa anti-Zionisme. Mantan Menlu RI, Roeslan Abdulgani, menulis, dalam konferensi tersebut Zionisme dikatakan sebagai "the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history". Menurut Roeslan, "Zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam jaman modern sekarang ini.”
Dr. Israel Shahak, cendekiawan Yahudi, dalam bukunya, Jewish History, Jewish Religion (1994) menulis: “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.” Jadi, menurut Shahak, keberadaan negara Israel yang sangat rasialis memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia.
Berburu militan
Apa yang dilakukan Zionis Yahudi saat ini di Gaza tampaknya merupakan realisasi dari politik pasca Perang Dingin yang dirancang oleh kelompok tertentu untuk memburu kaum militan Islam. Samuel P. Huntington, dalam bukunya Who Are We (2004) sudah menulis: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”
Jadi, menurut Huntington, pasca 11 September 2001, AS telah memutuskan untuk melakukan perang budaya dan perang agama dengan Islam militan. Nah, karena Hamas dikategorikan sebagai Islam militan, maka mereka harus ditumpas. Juga, siapa pun yang melindungi Hamas dan bersama Hamas, seperti wanita dan anak-anak Palestina, juga halal dibunuh. Jika perlu jenazah anak-anak itu dijadikan umpan bagi anjing-anjing Yahudi Israel. Inilah yang juga terjadi di Afghanistan. Taliban, dengan alasan termasuk kategori ’militan’ maka harus dibasmi dari muka bumi. Anehnya, masih ada saja media massa yang juga mengumbar sebutan ’militan’ untuk Hamas dan tidak menggunakannya untuk Ehud Olmert dan George W. Bush yang jelas-jelas bertanggung jawab atas pembunuhan massal warga Afhgansiatan dan Palestina.
Perburuan terhadap Hamas pun sudah berlangsung lama. Karena tidak berhasil melumpuhkan Hamas, maka Israel dengan dukungan AS makin kalap saja. Apalagi setelah Bush mendapat hadiah lemparan sepatu dari wartawan Irak, al-Zaidi. Pada 22 Maret 2005, Syekh Ahmad Yassin, pemimpin Hamas, tewas dirudal oleh helikopter Israel. Hanya untuk membunuh seorang kakek yang lumpuh sekujur tubuhnya, Israel harus menggunakan senjata pemusnah massal semacam itu. Sebulan kemudian, Sabtu, 17 April 2005, giliran Abdul Azis Rantisi, pemimpin Hamas juga dihabisi Israel dengan cara serupa.
Pasca terbunuhnya Syekh Ahmad Yassin, Menteri Pertahanan Israel Saul Mofaz berkata: “Akan kami bunuh semua pemimpin Hamas Palestina”. Mofaz tidak menggubris seluruh protes terhadap aksi biadab Israel. Menurutnya, jika ada reaksi terhadap itu, maka itu hanya bersifat sementara dan akan segera dilupakan. Ketika itu, Gedung Putih pun hanya menyesalkan terbunuhnya Syekh Yassin. “We are deeply troubled by this morning's actions in Gaza," kata Condoleeza Rice, yang waktu itu masih menjabat penasehat keamanan Gedung Putih. Namun, ia juga menekankan, bahwa Hamas adalah teroris dunia dan Yassin adalah pemimpinnya. Katanya: "Let's remember that Hamas is a terrorist organization and that Sheikh Yassin himself has been heavily involved in terrorism."
Sikap AS yang terus menjadi bodyguard dan cukong Israel semacam inilah yang telah memicu kenekadan pemimpin Israel untuk terus membunuh para pemimpin Hamas dan membunuhi penduduk Palestina. Pasca terbunuhnya Rantisi, Israel juga menyatakan, bahwa mereka telah membunuh seorang "mastermind of terrorism", dan terus menyatakan akan terus membunuh pemimpin militan Palestina. "Israel... today struck a mastermind of terrorism, with blood on his hands," kata Juru Bicara Kementeian Luar Negeri Israel, Jonathan Peled. "Jika otoritas Palestina tidak memberangus terorisme, maka Israel akan melanjutkan tindakan itu sendiri,” sambungnya.
Siapa yang teroris sebenarnya? Hamas adalah pemenang sah pemilu di Gaza. Tapi, AS tidak mau mengakuinya. Hamas berjuang karena negaranya dijajah dan dirampas. Hanya karena meluncurkan roket-roket yang memakan korban beberapa gelintir warga Yahudi, maka Hamas dicap sebagai teroris. Sementara tentara AS dan Israel yang telah membantai ribuan warga sipil Afghanistan dan Palestina diberi kedudukan terhormat sebagai ”pemberantas” teroris. Karena mereka kuasa, dunia pun tidak berdaya. Bahkan, negara-negara Islam yang bergelimang kekayaan pun tak berdaya. Pemimpin-pemimpin Arab terus sibuk menggelar rapat dan merumuskan ”Resolusi”, sementara di depan mata mereka warga Palestina dijadikan santapan peluru dan anjing Yahudi.
Logika Kekuatan!
Jika para pemimpin dunia Islam masih percaya pada “logika kertas”, maka Yahudi justru hanya percaya kepada logika kekuatan. Pada 29 April 2003, saat peringatan Holocaust, Ariel Sharon berpidato: “The murder of six million Jews has demonstrated that the Jewish people can only achieve security through strength.” Dengan mengenakan peci khas Yahudi (kipa) Sharon menegaskan, bahwa hanya kekuatan (strength) yang dapat menyelamatkan bangsa Yahudi. Karena itu, ia tidak terlalu percaya pada penggunaan cara-cara yang dinilainya menunjukkan kelemahan, seperti diplomasi, perundingan, dan sejenisnya.
Logika kekuatan ini memang banyak dianut oleh para tokoh Zionis. Salah satunya, Vladimir Jabotinsky. Gideon Shimony, penulis buku The Zionist Ideology (1995) menyebut Jabotinsky seorang Zioinis yang brilian, orator ulung, yang tumbuh di komunitas Yahudi Rusia. Teori-teorinya banyak diaplikasikan dalam gerakan Zionisme, terutama dalam penggunaan kekuatan dan segala cara yang memungkinkan untuk mewujudkan impian Zionis, termasuk penggunaan kekerasan. Ralph Schoenman, dalam bukunya The Hidden Agenda of Zionism, juga banyak mengungkap pemikiran Jabotinsky dalam mewujudkan impian Zionis. Bahkan, kaum Zionis tidak tabu untuk bekerjasama dengan Nazi Jerman, kaum pembantai Yahudi sendiri. Fakta-fakta kerjasama Nazi Jerman dengan gerakan Zionis untuk menggiring orang Yahudi ke Palestina juga diungkap sejawaran Inggris, Faris Glubb, melalui bukunya, Zionist Relations with Nazi Germany (1979).
Sebagian Zionis juga bisa mencari legitimasi penggunaan kekerasan pada sejarah nenek moyang mereka sebagaimana tertulis dalam Bibel: “Bersoraklah, sebab Tuhan telah menyerahkan kota ini kepadamu. Dan kota itu dengan segala isinya akan dikhususkan bagi Tuhan untuk dimusnahkan.” (Yosua, 6:16-17). Hanya seorang pelacur dan seisi rumahnya yang diselamatkan. (Yosua 6:17). “Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, kuda, dan keledai.” (Yosua, 6:21).
Melihat track record perilaku kaum Yahudi Zionis selama ini, sebenarnya, pembantaian ribuan warga Palestina di Gaza saat ini memang tidak aneh. Zionis Yahudi memang haus darah. Mereka belum puas mencaplok wilayah Palestina, membunuh dan mengusir jutaan penduduknya. Kini, kaum Zionis mengerahkan anjing-anjing buas untuk memakan jenazah anak-anak Palestina!
Kekalahan Israel
Meskipun kebiadaban Israel begitu nyata, tetapi kita benar-benar terbelalak, bahwa ada saja beberapa gelintir manusia di Indonesia yang masih menaruh simpati kepada Israel dan mencerca kaum Muslim serta bangsa Arab. Usai berkunjung ke Israel, seorang aktivis Islam Liberal menulis sebuah artikel berjudul ”Beberapa Catatan dari Israel”. Berbeda dari manusia kebanyakan, dosen Universitas Paramadina ini memberikan pembelaan yang luar biasa kepada Israel. Ia menulis:
“Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik. Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “Orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?”
Penulis artikel tersebut tampaknya tidak mampu lagi memandang kebiadaban kaum Zionis Israel sejak 1948 yang telah melahirkan berbagai kecaman dunia internasional. Betapa pun, fakta membuktikan, Pembantaian Gaza adalah sangat memilukan bagi siapa saja yang masih memiliki hati nurani. Lebih dari 1.300 warga Gaza – sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak meninggal dunia. Sekitar 5.000 orang lainnya mengalami luka-luka. Tapi, pengorbanan ribuan warga Palestina itu pasti tidaklah sia-sia. Semoga mereka semua tercatat sebagai syuhada di sisi Allah SWT.
Pelajaran yang sangat penting dari Pembantaian Gaza adalah munculnya kesadaran umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya akan kenyataan bahwa kaum Zionis Israel memang nyata-nyata biadab. Belum pernah kita menyaksikan kesadaran yang begitu luas dan merata semacam ini. Selama ini, kaum Muslim banyak membaca sifat-sifat dan watak jahat kaum Yahudi yang digambarkan dalam berbagai ayat al-Quran. Tetapi, kini, gambaran al-Quran itu begitu nyata terlihat. Anak-anak kecil pun kini sangat paham akan kejahatan dan kekejian Israel. Begitu mudah sekarang menunjukkan kepada anak-anak kecil, bagaimana biadabnya kaum Yahudi ini. Sebab, mereka sendiri dapat menyaksikan tubuh anak-anak Palestina terkoyak-koyak diterjang peluru dan rudal-rudal Israel.
Sejak Kongres Zionis pertama, tahun 1897, kaum Yahudi berhasil mencitrakan dirinya sebegai “David” yang kecil dan lemah dikeroyok oleh raksasa “Goliath”. Yahudi berhasil membangun opini dunia, bahwa mereka adalah bangsa tertindas yang pantas dikasihani dan diberikan hak untuk membentuk duatu negara. Tapi, setelah kasus Gaza ini, simpati dunia untuk kaum Zionis sudah musnah. Inilah kekalahan terbesar dari kaum Zionis Israel. Begitu buruknya citra Israel di mata dunia saat ini.
Padahal, opini, kata Alfin Toffler, adalah “the highest quality of power”. Karena itulah, kaum Yahudi selama ini sangat menguasai aspek penting ini. Upaya Israel untuk mencitrakan serangannya ke Gaza sebagai tindakan “bela diri” sulit diterima oleh masyarakat internasional. Hanya AS saja yang masih terus memberikan pembenaran terhadap serangan Israel ke Gaza. Inilah pelajaran dari Gaza yang sangat berharga. Bahwa, kini, kaum Zionis Israel telah dipersepsikan oleh dunia sebagai “bangsa biadab”. Inilah yang telah dikhawatirkan oleh berbagai cendekiawan Yahudi sendiri, seperti Dr. Israeli Shahak. Bahkan, pada tahun 1930, Albert Einstein sudah menulis:
"Saya lebih dapat menerima adanya kesepakatan yang adil dengan orang-orang Arab, atas dasar hidup bersama dalam kedamaian, daripada harus membentuk sebuah negara Yahudi. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan praktis, kesadaran saya akan esensi Judaisme menolak gagasan sebuah negara Yahudi, dengan garis perbatasan, angkatan bersenjata, dan sebuah tindakan temporal yang berlandaskan kekuatan, bukan kerendahhatian. Saya takut akan terjadi kehancuran Yudaisme dari dalam, terutama akibat tumbuhnya nasionalisme sempit di kalangan kita sendiri. (Roger Garaudy, Israel dan Praktek-praktek Zionisme, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 69).
Apakah ini tanda-tanda bahwa kaum Zionis Israel telah menggali kuburnya sendiri? Kita lihat saja perkembangan berikutnya. (Depok, 27 Januari 2009).
*) Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/Dosen di pasca sarjana Pusat Studi Timur Tengah dan Islam—Universitas Indonesia. Materi disampaikan pada kajian Ba'da Dhuhur di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, 27 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar