Kamis, 11 Februari 2010

Panggilan

Kalau membaca atau mendengar kata “panggilan” memang bisa berarti macam-macam, tergantung kata atau kalimat yang mendahului atau mengikutinya. Dari bentuk katanya, “panggilan” adalah bentuk kata benda dari kata dasar panggil. “Saya mendapat panggilan dari kelurahan karena KTP saya jadi”, sangat berbeda arti dengan “saya mendapat panggilan si jangkung karena tinggi badan saya yang di atas tinggi tubuh normal”. Saya mau mencoba bercerita mengenai mengenai sebuah peristiwa atau kejadian terkait dengan “panggilan” sebagaimana contoh pertama tadi, yaitu panggilan yang berarti seseorang (atau bisa lembaga atau apa saja) dipanggil oleh orang lain (bisa lembaga atau apa saja) dan mengharapkan yang dipanggil untuk merespon panggilannya.
Mengapa saya mau cerita mengenai “panggilan” tersebut? Beberapa waktu lalu seorang pimpinan di sebuah lembaga yang cukup besar di Indonesia mendapat “panggilan” dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi saksi pada sebuah kasus yang cukup heboh dan ramai menghiasi media massa di Indonesia. Panggilan di sini adalah panggilan dalam arti kita akan datang karena seseorang menghendaki kita datang.Dan karena yang memanggil adalah sebuah lembaga yang cukup disegani di negeri ini terutama karena sepak terjangnya dalam memberantas korupsi, tentu saja sang pimpinan lembaga tersebut walaupun hanya dipanggil sebagai saksi, sangat serius dalam mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan pemeriksa KPK.
Dalam rangka persiapan itulah, sang pejabat berusaha melengkapi bahan yang kira-kira akan ditanyakan termasuk data bahkan strategipun disiapkannya agar dia dapat menjawab dengan baik. Karena sangat sensitifnya masalah itu, persiapan memang perlu sangat matang agar tidak terpeleset dari lebih sekedar menjadi saksi. Memang terlihat ada semacam aura ketegangan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai ketakutan ketika di panggil oleh KPK. Saya yakin, hal tersebut pasti terjadi pada hampir semua orang yang pernah dipanggil KPK. Walaupun diyakini bahwa pertanyaan pastilah tidak akan menjauh dari pekerjaan kesehariannya, tetap nampak ketegangan dan usaha mempersiapkan diri dengan matang terlihat jelas. KPK memang sudah menjadi lembaga angker di negeri ini. Sudah cukup banyak pejabat dan petinggi yang masuk penjara karena mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sekarang coba kita bayangkan kalau kita dapat panggilan, tapi bukan dari KPK, atau polisi atau yang panggilan lain yang bikin serem-serem dan deg-degan seperti kejaksaan misalnya. Tapi bagaimana kalau kita dipanggil oleh ALLOH SWT. Ya, pada saatnya nanti.. percaya atau tidak, suka atau tidak kita harus memenuhi panggilan itu dan harus meninggalkan semua yang ada di dunia ini atau mati. “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian” (Ali Imran : 185). Bedanya adalah kita tidak pernah tahu kapan giliran kita harus memenuhi panggilanNya. Dan ketika giliran kita tiba, tak perduli apakah kita mau atau tidak, siap atau tidak, sedang dalam kondisi baik atau tidak.. panggilanNYA harus dipenuhi. Kematian pasti datang. Tidak seorangpun mampu melarikan diri dari kematian. Bahkan, kematian itu yang akan menemui kita, kapan dan dimanapun. “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa kematian yang kalian lari daripadanya, dia akan menemui kalian…” (Qs. Al-Jumu‘ah [62]: 8). Kita pun tidak dapat bersembunyi darinya: “Di mana saja kalian berada, kematian itu akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian bersembunyi di balik benteng yang sangat tinggi lagi kukuh…” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 78).
Kalau sudah jelas panggilan itu pasti datang, bagaimana dengan persiapan kita? Kalau dipanggil KPK saja seseorang bisa begitu rupa mempersiapkan diri agar bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik. Semua bukti dan saksi akan kita usahakan agar semuanya bisa lancar dan tidak ada masalah. Ada rasa khawatir, takut, gelisah dan sebagainya. Kalau begitu bagaimana kalau dipanggil Alloh secara tiba-tiba?
Banyak atau bahkan sebagian besar dari kita merasa tidak siap dengan panggilan itu bahkan terkadang tidak mau atau enggan menyebut atau membicarakan masalah kematian seolah kita tidak akan pernah mati. Kita tidak pernah tahu kapan panggilan itu datang. Jika kita tidak pernah tahu, maka seharusnya setiap saat kita harus menyiapkan bekal untuk persiapan jika waktunya dipanggil datang. Pertanyaannya adalah: Sudah cukupkah persiapan kita memenuhi panggilanNya tersebut? Saya juga tidak tahu apakah bekal saya sudah cukup atau belum .. atau bahkan bisa jadi masih sangat jauh dari cukup. Tapi saya kira tidak ada salahnya untuk saling mengingatkan.. mumpung panggilan itu belum datang.


Minggu, 24 Januari 2010

One Home One Hafidz

One Home One Hafidz adalah sebuah cita-cita dari seorang sahabat untuk men”cipta”kan minimal satu orang dalam anggota keluarga kita yang hapal Al Qur’an. Sebuah cita-cita yang sangat mulia dan sangat akhirat oriented. Sahabat itu bernama Arief Husen, seorang ayah dari 2 orang anak laki-laki yang sangat cerdas. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, pak Arief telah mencoba berbagai metode menghapal Al Qur’an, namun demikian dari tiap metode tersebut yang bersangkutan selalu menemui beberapa masalah terutama masalah dalam memahami cerita atau kesatuan ayat dalam suatu surat, maupun dalam memahami artinya.

Tidak puas dengan metode yang ada, pak Arief mengutak-utik dan berusaha menemukan metode yang lebih pas. Ketika sebuah niat baik yang dilandasi dengan usaha yang tekun, insya Alloh jalan akan selalu ada. Akhirnya beliau mencoba sebuah metode menghapal Al Qur’an yang memasukkan unsur visual sebagai alat untuk lebih memudahkan proses memorizing ke dalam otak. Metode tersebut kemudian diuji cobakan kepada putra-putranya dan subhanalloh hasilnya benar-benar luar biasa. Kemampuan hapalan ayat-ayat AlQur’an putra-putranya meningkat pesat bahkan karena sangat powerful-nya metode tersebut, putra-putra pak Arief bisa menyampaikan sebuah surat dalam Al Qur’an yang sudah mereka hapal dengan metode tersebut dengan membacanya dari ayat paling belakang ke ke depan. Metode hapalan Qur’an temuan pak Arief itu beliau beri nama metode AlHusen.
Penasaran dengan hal tersebut, maka saya pun langsung confirm hadir ketika pak Arief mengundang sahabat dan teman untuk mencoba metode tersebut di rumahnya. Pada hari H, akhirnya kamipun berkesempatan belajar langsung dari sang penemu metode tersebut. Pada intinya metode yang dikembangkan pak Arief adalah memvisualisasikan apa yang diceritakan pada suatu ayat. Tentunya kita harus membaca ayat terlebih dahulu dan mengerti arti per katanya (makanya untuk belajar metode ini harus dilengkapi dengan minimal Al Qur’an dan Terjemahannya). Jadi instead of mengingat kata-kata atau kalimat per kalimat dalam ayat, memory kita menangkap gambar (visualisasi dari ayat dimaksud) yang memberi gambaran maksud dari ayat tersebut. Secara teori, memang otak kita akan lebih mudah menyimpan memori gambar daripada kalimat-kalimat atau kata-kata. Hasilnya.. dalam satu jam kami bersama-sama bisa menghapal 20 ayat.. subhanalloh.
Begitu selesai belajar, besok harinya metode tersebut langsung kami coba kepada putri kami yang masih duduk di kelas 5 SD. Hasilnya, dalam waktu lebih cepat dari kami (kurang lebih 30 menit), putri kami Prasya telah berhasil menghapal 20 ayat Surat An Naba. Alhamdulillah.. benar-benar luar biasa menurut kami.Rasanya menghapal ayat-ayat suci AlQur’an yang tadinya kelihat sangat sulit, rasanya sekarang kok jadi lebih mudah. Kalau melihat hasil dari aplikasi metode tersebut nampaknya cita-cita pak Arief, dan insya Alloh sekarang juga menjadi cita-cita keluarga kami yaitu “one home one hafidz” insya Alloh akan terwujud.. tinggal niat dan ikhtiar kita saja.

Rabu, 13 Januari 2010

MLM Ibadah, Menuai Pahala Tanpa Batas

Jika kita mendengar istilah MLM atau Multi Level Marketing maka yang terbayang adalah sistem pemasaran produk secara langsung dimana distributor (downline) direkrut oleh distributor yang terdaftar sebelumnya (upline). Seorang upline selain mendapatkan profit dan komisi dari penjualannya juga dimungkinkan mendapat komisi dari dowlinenya, bahkan dari bisa dari beberapa level downline dibawah downline pertamanya tanpa mengurangi komisinya sendiri. Makin banyak downlinenya(pertama dan level-level berikutnya) tentunya semakin besarlah komisi sang upline. Jadi gampangnya, sang top uplinenya bisa duduk-duduk saja, akan menerima passive income yang terus menerus dari hasil kerja downline-downline.

Sekarang coba kita bayangkan kalau passive income yang terus menerus itu adalah pahala dari Alloh SWT. Jadi kita dapat pahala karena orang lain berbuat baik, bahkan terus menerus meskipun kita sudah meninggal. Lalu bagaimana caranya? Ustadz Haidar (ustadz yang juga seorang dokter bedah) dalam suatu pengajian menjelaskan hadist yang terkait dengan hal itu:
" Siapa yg berinisiatif untuk melakukan hal yang baik dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala dari orang-orang yang mengerjakannya setelah dia meninggal, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan siapa yang berinisiatif untuk melakukan hal yang tidak baik, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya setelah ia meninggal, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (hadits shahih,Riwayat Muslim : 1691,al-Tirmizi: 2599,An Nasa'i : 2507,Ibnu Majah :199,Ahmad:18367)
Terkait dengan hadist di atas, yang terpikir adalah para sahabat Rosulullah SAW yang melakukan syiar di awal-awal penyebaran Islam. Kemudian setelah mereka, Islam terus diajarkan dan disyiarkan dari generasi ke generasi. Bisa kita bayangkan pahala yang mengalir kepada para sahabat secara terus-menerus walaupun mereka sudah wafat. Kalau boleh meminjam istilah MLM, mereka itulah para upline umat Islam sekarang ini. Saya beri contoh misalnya Amr bin Ash yang membawa Islam ke Mesir. Aliran pahala yang mengalir ke beliau dari pertama kali beliau mensyiarkan Islam di sana hingga sekarang. terus berlangsung Kalau menggunakan istilah ustadz Haidar maka setiap ibadah atau perbuatan baik orang Mesir menurut Islam, insya Alloh pahala juga untuk Amr bin Ash. Luar biasa bukan. Subhanalloh.
Terus bagaimana dengan kita? Apa harus berdakwah, menyeru orang dalam kebaikan? Kalau memang bisa begitu dan ilmunya sudah mumpuni, mengapa tidak? Tapi kalau belum bisa, ya bisa kita mulai dari yang kecil-kecil di lingkungan kita. Dari lingkungan keluarga saja misalnya kita mengajari anak membaca Qur’an, kemudian suatu saat nanti dia mengajarkan kepada anaknya,atau temannya, yang kemudian juga mengajarkan kepada anaknya dan seterusnya. Maka selama perbuatan baik itu berlanjut, insya Alloh pahala bagi kita akan berjalan terus, passive pahala. Itu hanya contoh kecil saja. Banyak contoh lain yang bisa kita lakukan, misalnya mengajak teman kita sholat berjamaah, yang kita ajak mengajak orang lain dan seterusnya sehingga pahala dari perbuatan baik kita, insya Allah akan terus mengalir kepada kita. Jadi yang perlu kita lakukan adalah melakukan hal yang baik dalam Islam, dan bisa kita mulai dari yang paling sederhana. Passive pahala… hem mau?

Minggu, 03 Januari 2010

Bebas

Pada sebuah acara pengajian (lebih tepat disebut workshop) dengan peserta undangan kurang lebih 30 orang dilakukan perkenalan terlebih dahulu. Tujuannya untuk mempermudah dan mempercepat peserta berinteraksi satu sama lain. Setiap peserta diminta untuk memperkenalkan dirinya, latar belakangnya, profesinya, atau apa saja yang ingin orang lain tahu mengenai dirinya. Tidak semuanya belum kenal sama sekali. Sebagian besar sudah saling kenal, cuman tidak semua tahu latar belakang masing-masing rekan secara persis. Ada yang menarik dari acara perkenalan tersebut. Dari perkenalan tersebut, ternyata sebagian besar yang hadir berprofesi sebagai wiraswasta/pengusaha, sementara yang karyawan justru tidak terlalu banyak

Lalu apa menariknya? Ternyata sebagian teman yang pengusaha/wiraswasta tersebut dulu juga karyawan, cuman karena ada keinginan dari mereka yang menurut saya hampir sama atau bahkan sama persis. Keinginan tersebut adalah keinginan untuk ”bebas”. Apa maksudnya ”bebas”? Apakah selama ini tidak ada kebebasan? Yang dimaksud bebas ternyata adalah kebebasan mengatur diri kita sendiri terutama dalam beribadah. Mereka berkeinginan untuk dapat menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya. Tanpa kendala dan halangan. Kendala dan halangan hanya ada pada diri mereka, tidak ada faktor lain. Sebaik-baiknya itu bagaimana? Salah satu yang jadi contoh sederhana adalah kebebasan dapat menjalankan sholat berjamaah di awal waktu di masjid.

Hal tersebut tidak sepenuhnya mereka dapatkan ketika menjadi karyawan. Kalau menjadi karyawan tentunya sebagian hidupnya diatur oleh aturan perusahaan. Masuk, istirahat, dan pulang ada ketentuannya. Keinginan untuk dapat sholat di awal waktu menjadi terbatas. Tidak semua perusahaan memberi kelonggaran karyawannya untuk sekedar ke masjid atau ke mushola terdekat pada waktu sholat Ashar misalnya. Dan tidak jarang malah di kantorpun tidak tersedia tempat sholat yang cukup layak untuk sholat berjamaah atau bahkan untuk sholat sendirian (munfarid).

Terus terang saya kagum dengan rekan-rekan peserta acara pengajian tersebut terhadap keinginan mereka untuk bebas dan berusaha mewujudkannya. Keyakinan yang dalam bahwa sesungguhnya hidup kita hanya untuk menyembah dan mengabdi pada Alloh SWT dan jangan sampai urusan dunia menganggu keinginan memberikan yang terbaik kepada Alloh SWT. Dengan keyakinan bahwa rezeki dari Alloh dan Alloh tidak akan menyia-nyiakan hambaNya dan menjamin rezeki, mereka memutuskan berhenti menjadi karyawan dan berwirausaha. Dengan menjadi bos atas usaha mereka dan diri mereka sendiri tentunya lebih mudah bagi mereka untuk ”bebas” tinggal bagaimana menjaga semangat dan keyakinan yang mendorong yang melandasi keinginan menjadi ”bebas” tersebut. Kendala dan halangan hanya ada pada diri sendiri.

Saya kenal dengan baik beberapa teman tersebut. Sepanjang pengetahuan saya memang mereka sangat istiqomah. Kesibukan apapun ketika menjelang waktu sholat tiba, mereka segera berhenti dan mencari masjid/mushola terdekat. Mereka selalu berusaha mendahulukan Alloh di atas semua urusan. Terus terang saya banyak belajar dari mereka untuk masalah tersebut.
Lalu bagaimana dengan dengan rezeki dan penghidupan mereka setelah tidak menjadi karyawan? Saya hanya bisa berkata bahwa Alloh benar-benar menjamin rezeki setiap hambaNya... Subhanalloh...

Jumat, 01 Januari 2010

Makna Adzan

Apa sih sebenarnya makna adzan bagi kita? Kalau mendengar adzan kira-kira apa reaksi kita, apa segera bergegas menuju mesjid terdekat untuk memenuhi panggilan tersebut atau sekedar jadi tahu bahwa sudah masuk waktu sholat dan tetap menjalankan kesibukan kita alias menunda sholat karena kesibukan tersebut. Tidak sedikit dari kita yang tidak begitu perduli dengan panggilan tersebut dengan alasan masih sibuk, nanti juga bisa, dipanggil boss dan lain-lain. Masya Allah, demikian hebatnyakah kesibukan tersebut sehingga panggilanNya yang notabene adalah panggilan sang Maha Pemberi yang memberikan kesibukan itu, yang menyediakan udara secara gratis agar kita bisa tetap hidup menjalankan kesibukan itu, menyehatkan badan kita sehingga kita bisa tetap bekerja dan lain-lain yang memungkinkan kita mengerjakan kesibukan itu, justru menjadi nomer dua atau bahkan nomer ke sekian setelah kesibukan itu?

Tidak jarang dari kita menunda-nunda sholat sampai menjelang waktu sholat berikutnya. Sholat hanyalah sebuah rutinitas tanpa makna, yang dilakukan sekedar menggugurkan kewajiban kita sebagai seorang muslim. Tidak bisakah kita penuhi hakNya untuk kita ibadahi? MendahulukanNya di atas semua urusan di dunia?.

Ada tulisan menarik yang dikutip dari buku : CELAKA ORANG YANG SHOLAT , karya Ahmad Fadlil Nasrullah. S. Ag yang insya Alloh memberi pemahaman mengenai makna dari adzan:

Menurut Said Jibair, bahwa Ibnu Abbas seringkali menangis ketika mendengar adzan. sampai sampai surbannya basah oleh airmata. Ketika ada yang menanyakan mengapa begitu? Ibnu Abbas menjawab, ” Seandainya semua orang tahu makna seruan muadzin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak.”

Selanjutnya Ibnu abbas menjelaskan makna satu persatu dari kalimat adzan tersebut. Dikatakan bahwa seruan Allahu Akbar mengandung makna seakan akan ada kalimat, “Wahai sekalian manusia yang sedang sibuk mengurusi harta duniawi, berhentilah sejenak. sambutlah seruan ini. Istirahatkanlah badanmu dan segeralah beramal baik demi kepentingan dan keuntungan dirimu sendiri.”

Lalu jika diserukan asyhadu anlaa ilaaha illalaah seakan akan muadzin berkata, “aku mohon persaksian semua masyarakat langit dan bumi, bagiku di sisi Alloh kelak di hari kiamat bahwa : aku telah menyeru kalian!.

Berikutnya kalimat asyhadu anna muhamadan rasulullaah, seakan akan muadzin berkata kepada kita, “aku mohon persaksian dari para Nabi (khususnya) Muhammad saw. kelak di hari kiamat, bahwa aku telah memberitahu kepada kalian setiap hari lima kali.”

Kalimat hayya alaash shalaa, seakan akan muadzin berkata, “sungguh, Allah telah menegakkan sholat bagi kalian, maka tegakkanlah sholat itu.”

Kalimat hayya alal falaah, mengandung makna, “Masuklah kalian dalam rahmat dan peganglah petunjuk petunjuk bagimu!”

Lalu seruan Allahu Akbar, mengandung makna. “segala pekerjaan (urusan duniawi) terlarang bagimu, sebelum kamu melaksanakan sholat.”

Dan kalimat, laa ilaaha illaallaahu mengandung makna, “Inilah amanat tujuh lapisan bumi-langit, sudah berada dipundakmu, maka terserah kalian, akan kau laksanakan atau tidak!.

Namun hal hal seperti itu jarang kita pikirkan. Kita memandang bahwa shalat adalah kegiatan rutinitas yang dilaksanakan lima kali dalam dua puluh empat jam. Tak ada esensi yang menarik hati kita. shalat yang kita kerjakan hanya semata-mata pelengkap identitas bahwa kita adalah orang Islam. Dimana salah satu ciri orang Islam adalah menjalankan sholat lima waktu. Inilah pikiran yang keliru. Kalau kita menganggap sholat sekedar demikian itu, maka akan membahayakan agama kita.

Yuk kita bersama-sama belajar mendahulukanNya diatas semua urusan duniawi. Mendahulukan hakNya untuk diibadahi dan memberi makna atas sholat kita. Insya Alloh.